Apa itu DIKLAT?
Thanks buat Teman Popon, God Bless You!!!
“MAPALA, DIRE NON POUR L’EXPLOITATION DE L’HOMME PAR L’HOMME”
Sebuah guratan tulisan akan menjadi sebuah sejarah dalam kehidupan. Orang Perancis sangat mengagungkan tulisan, maka itulah filsuf kontemporer Perancis Jacques Derrida pernah bersesumbar “Segala sesuatu adalah teks”. Begitu juga dgn tulisan kawan Gombrenk ini. Tulisan ini laksana torehan sebuah perjalanan sejarah hidup seorang Nugroho Imam Setiawan dalam membaca kehidupan, tak akan hilang meski penulisnya telah tiada.
Secara epistemologis, saya pribadi tak begitu tau banyak hal tentang sejarah Mapala di Indonesia. Namun menurut pengamatan saya, perkembangan dunia Mapala akhir-akhir ini mengalami regresifitas dan stagnasi BILA DIKAITKAN dgn iklim transisi demokrasi di Indonesia. Hal ini terlihat dari banyaknya organisasi Mapala yg masih menganut beberapa paham bertendensi anti demokrasi.
Contoh yg bisa diambil di antaranya adalah masih dianutnya budaya militeristik mengarah pada paham fasisme, senioritas, & feodalisme dlm kehidupan berorganisasi Mapala. Memang dari perspektif kegiatan Mapala yg sarat kehidupan keras dgn beribu resiko di alam, kedisiplinan menjadi hal yg determinan dlm melakukan aktifitas organisasi. Jika satu hal itu tak ada, maka akan konyol jadinya. Hanya saja senioritas yg militeristik ini digunakan para senior Mapala dalam kali pertama pemberian introduksi kegiatan ke-Mapalaan yg jamak dikenal dgn Pendidikan dan Latihan (Diklat). Beberapa senior Mapala ketika ditanyai tentang pendidikan militeristik dlm Diklat pada juniornya ini akan cepat berkilah dgn mantap, “Kami sedang melakukan pendidikan kedisiplinan, karena dunia di alam nanti lebih keras daripada apa-apa yang kami kemas dlm pendidikan dan latihan ini”. Mungkin itulah alasan para senior di Mapala untuk tetap menerapkan disiplin militeristik dlm mendidik para juniornya selain alasan lain, yaitu mempertahankan tradisi yg telah turun temurun & selalu dilestarikan. Tradisi memang perlu dilestarikan, namun untuk sebuah tradisi yg tidak membawa kemajuan untuk sebuah nilai kemanusiaan yg memanusiakan manusia, agaknya tradisi itu perlu dikaji ulang. Jika memang tradisi tersebut jauh dari nilai2 humanisme, egaliterisme, & hak asasi manusia, selayaknya tradisi tersebut untuk segera direkontruksi bahkan jika perlu didekontruksi. Perploncoan dlm pendidikan & latihan Mapala sepertinya perlu dikaji lebih radikal-komprehensif utk kemudian menyusun suatu formulasi baru pendidikan & latihan yg lebih memanusiakan manusia. Ingat satu hal, saat menjadi junior pun kita pasti akan keki & bebal melihat para senior yg berbuat seenaknya, layaknya mereka itu sudah paling kuat menghadapi alam. Penegasan hierarki senior pada junior, “Kami adalah di atas kalian, Kami lebih dari sekedar kalian”, adalah sebuah pengkelasan & eklusifitas kelas yg sudah hampir 1,3 abad dirumuskan oleh Karl Marx sebagai awal mula timbulnya penindasan & ketidakadilan dlm masyarakat industri di Eropa. Mark menggambarkan elitisitas Borjuis sebagai paham Kapitalistik yg menindas. Senioritas sama saja dgn borjuasi yg menindas. Jadi untuk apa dialektika Historis Karl Mark dilupakan sejak Mapala pertama kali didirikan di negeri ini? Orde baru sudah lewat Bung! Militeristik kini telah jadi barang usang.
Borjuasi memang tak selalu buruk, terutama borjuasi yg merakyat dan memanusiakan manusia. Borjuasi revolusioner. Seperti pergerakan Organisasi Modern pada awal perjuangan Kebangkitan Bangsa Pra Kemerdekaan Indonesia yg dipelopori oleh kaum borjuis revolusioner.
Jika memang kawan-kawan Mapala ingin membuat sebuah perubahan dlm tubuh organisasi yg bernama Mapala, selayaknya budaya-budaya & paham-paham itu lekas ditinggalkan utk direkontruksi dgn formulasi pendidikan yg lebih revolusioner. Saya pribadi adalah seorang penentang penindasan/ekploitasi manusia atas manusia (l’exploitation de l’homme par l’homme), saya sangat benci dengan kekerasan yg digunakan sebagai alat utama utk mencapai tujuan.
Masih banyak formulasi dlm membentuk kedisiplinan & komitmen berorganisasi yg lebih arif & jauh dari bau ekploitasi. Kedisiplinan sejati tak bisa dibentuk dari faktor eksternal yg dipaksakan, tapi dari faktor internal individu itu sendiri. Secara konseptual, memunculkan faktor internal kediplinan diri tanpa melalui pendidikan kekerasan yg direkayasa adalah tawaran saya utk organisasi bernama MAPALA.
Perlu diingat, pendapat saya ini bermula dari perjalanan hidup saya yg telah menjalani pendidikan berbau militeristik lebih dari dua tahun. Hasilnya, Non sense! Saya tetap jd orang yg indisipliner. Wahahaha! Huahahaha..!!! (Anda pasti akan bilang, semua tergantung pada diri pribadi, bukan?)
0 komentar:
Posting Komentar